Sabtu, 14 Januari 2012

Sukses itu tak mesti harus PNS,,,,

Persepsi masyarakat tentang kesuksesan sepertinya masih banyak salah kaprah. Masih banyak masyarakat terutama orang tua masih beranggapan bahwa PNS adalah satu-satunya pekerjaan yang layak bagi anak-anak mereka, dan itulah alasan sebagian besar mereka menyekolahkan putra-putrinya hingga ketingkat universitas atau perguruan tinggi. Bahkan beberapa orang tua ada saja yang tidak mengijinkan anaknya menggeluti pekerjaan lain selain menjadi PNS atau Pegawai Negeri Sipil, padahal pekerjaan yang di gelutinya menghasilkan pendapatan yang jauh lebih besar dari penghasilan PNS bahkan pekerjaannya mampu memberikan lapangan pekerjaan bagi pencari kerja yang lainnya.

Berikut ada sebuah kisah nyata yang menurut saya cukup menarik untuk di cermati dan di ambil hikmahnya terutama untuk mengubah mindset atau pola pikir khususnya orang tua terhadap anak-anaknya yang ingin mencari pekerjaan.

Melepas omset puluhan juta rupiah perhari demi upah 2 juta per bulan.

Seorang sarjana lulusan sebuah perguruan tinggi memiliki sebuah pemikiran yang sebenarnya kreatif dan maju, sayangnya pemikirannya ini tidak sejalan dengan orang tuanya. Dengan ketekunan dan keseriusannya dia berhasil mengelola sebuah peternakan ayam yang tidak hanya bisa menyuplai kebutuhan di daerahnya tapi juga di daerah hingga provinsi lain. Kesuksesannya mengelola peternakan tidak hanya memberikan omset puluhan juta rupiah setiap harinya tapi juga mampu menyerap lapangan pekerjaan dengan mempekerjakan belasan orang.

Namun kesuksesannya ini tidak bertahan lama, orang tuanya yang "mohon maaf" memiliki pemikiran sedikit tertinggal memiliki pandangan lain. Setiap hari selalu saja ia bergumam di depan anaknya "Percumalah kalau sekolah tinggi-tinggi kalau cuma jadi peternak ayam, tamatan SD atau yang tak sekolah juga bisa". Perkataan ibunya ini mulanya di tanggapi biasa, namun perkataan ini di dengarnya setiap hari, setiap ketemu bahkan kapanpun setiap ada kesempatan ibunya selalu saja "menceramahinya". "Cobalah kau daftar CPNS sana, tentunya harkat martabat keluarga kita akan sedikit lebih baik dari sekedar peternak ayam". Karena terus menerus di "cermahi" seperti itu rupanya sang anak akhirnya menyerah juga, suatu hari di dengarnya ada penerimaan CPNS di sebuah instansi pemerintah, berbekal ijazah SMA (karena formasi yang ada hanya untuk lulusan SMA) Ia akhirnya lulus dan menjadi PNS di Departemen Agama. Akhirnya Dia melepaskan peternakannya dan menjadi PNS yang upahnya sekitar 2 juta/bulan. Sebagai gambaran jika pun golongannya naik maka gajinya tidak akan sampai 5 jt perbulan, jauh dari omset peternakanya yang mampu meraih puluhan juta per hari. Namun sang orang tua sepertinya sudah puas, karena kini anaknya sudah menjadi seorang Pegawai Negeri Sipil dan menurutnya pekerjaan PNS jauh lebih bermartabat dibanding hanya seorang peternak.

Cerita di atas memang bisa membuat orang bergeleng kepala, namun itulah nyatanya di masyarakat. Ada banyak cerita seperti kasus diatas di mana penyebabnya tak lain adalah masih banyak masyarakat yang belum mengerti benar bahwa sesunggunya akan lebih baik kalau kita mampu menciptakan lapangan pekerjaan bukan hanya sebagai pencari apalagi hanya berharap kepada pemerintah. Tak mengapa kalau memang negara membutuhkan, namun moratorium CPNS yang berlaku 1 September 2011 adalah sebuah indikasi bahwa sebenarnya negara sudah memberi isyarat bahwa jangan terlalu mengandalkan pemerintah. Sebagai gambaran 60-90% Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dihabiskan untuk membayar gaji PNS, ini artinya hanya ada beberapa persen yang bisa digunakan untuk benar-benar membangun daerah.

Kenyataan hendaknya bisa sedikit menggeser pola pikir masyarakat khususnya mindset bahwa sukses identik dengan PNS, dan tujuan dari kuliah di perguruan tinggi atau universitas adalah untuk mengejar PNS. Sehingga setiap lulusan perguruan tinggi khususnya lulusan perguruan tinggi yang dipersiapkan untuk tenaga administratif harus melirik dan memikirkan pekerjaan di sektor lain sebab moratorim CPNS masih memberlakukan pengecualian untuk CPNS bidang kesehatan seperti dokter serta bidang pendidikan misalnya dosen. Sedangkan CPNS untuk tenaga administratif sudah dianggap cukup banyak sehingga tidak perlu menambah dulu tetapi hanya menggeser atau menyeimbangkan daerah yang kekurangan dengan daerah yang kelebihan dengan cara menggeser atau mutasi pegawai.

Minggu, 08 Januari 2012

Anjing menggonggong kafilah akan tetap berlalu

Sampai kapan bangsa ini akan bebas dari segala bentuk praktik korupsi? Secara sederhana mungkin kalimat singkat akan tersebut selalu terdengar dalam setiap perbincangan. Sangat wajar rasanya tiap-tiap orang dalam konteks komunitas masyarakat di berbagai kesempatan akan selalu menarik wacana tersebut untuk diperdebatkan. Di kantor, di warung kopi pinggir jalan, dan dalam setiap aktifitas keseharian di lingkungan kerja, di pasar-pasar hingga bahkan di balik jeruji sekalipun akan selalu membicarakannya secara vulgar. Benar, saking fenomenalnya masalah korupsi ini banyak para napi di bilik penjara sampai geram dibuatnya. Kendati untuk sementara memang mereka terkekang secara fisikis, namun tidak menutup kemungkinan mereka juga merasa apriori. Mereka beranggapan bisa jadi akibat maraknya praktek korupsi di negeri ini jatah kelayakan hidup mereka menjadi berkurang.

Anjing menggonggong kafilah akan tetap berlalu. Biar saja masyarakat geram, menggerutu, dongkol dan bahkan menyumpah serapah terhadap para koruptor, asal praktek korupsi itu tetap dapat terlaksana dengan lancar. Demikian kiranya bisikan para pelaku korup di negeri yang sangat menjunjung tinggi hukum ini. Mahasiswa berdemo berkumpul dan berorasi, bergumul dengan jilatan sengat matahari, membentangkan spanduk dan poster tinggi-tinggi dan berteriak dengan lantang seharian menyuarakan aspirasi masyarakat margin korban korupsi dihadapan para pemilik kepentingan, seakan terus jadi pemandangan biasa di negeri ini. Orang-orang miskin bertambah, angka pengangguran meningkat. Jadilah kesenjangan sosial yang semakin menyilaukan mata. Yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin menderita.

Nyaris tak ada lagi tempat di negara kita yang lolos dari praktek korupsi. Semua lini, apalagi yang menyangkut urusan publik kini jadi lahan empuk para oknum untuk menggerus uang rakyat secara tak halal. Berbagai program tentang kemaslahatan rakyat di sulap sedemikian rupa agar dalam prakteknya bisa menguntungkan oknum tertentu. Kongkalikong dengan oknum lainnya untuk semakin menerabas segala kendala yang mungkin dihadapi. Maka tak heran lagi praktek korup antar instansi akhirnya akan lahir. Penghulunya satu namun pengikut dan pendukungnya yang banyak.

Atas nama birokrasi dan prosedural teknis para oknum itu kemudian mengkebiri kesejahteraan rakyat secara massif. Perlahan namun pasti dari aparatur birokrasi pemerintah dalam posisi paling rendah hingga tingkat pejabat eselon kelas wahid. Belum lagi para oknum politisi, anggota dewan, oknum pengusaha korporasi dan lain sebagainya. Akhirnya masyarakat sebagai pemilik kedaulatan tertinggi demokrasi itu sendiri hanya dijalankan sebagai simbol pragmatismenya ambisi masing-masing mereka. Posisi rakyat mampu ditebus dengan dahsyatnya lobi-lobi tingkat tinggi. Parahnya lagi ketika masyarakat itu ingin berkeluh kesah tentang segala ketidakadilan itu di hadapan hukum, sebagian oknum penegaknya malah murtad, berkonsolidasi tak lazim, bermufakat dengan para koruptor itu.

Maka wajar saja kalau sebagian kalangan menyebut Indonesia sebagai surga bagi para koruptor. Oleh karena itulah diperlukan suatu upaya konkrit yang tegas dan luar biasa untuk membuat efek jera bagi pelaku perampokan itu. Namun tetap saja yang kita saksikan sungguh masih jauh panggang dari api. Alih-alih hukuman maksimal dari tuntutan. Berbagai obral remisi hingga pembebasan bersyarat kerap dibagikan. Kita tak pernah tahu ada udang dibalik batu. Sungguh belakangan ini warna-warni kehidupan sangat beragam. Jika pada masa kecil dulu penulis mengingat masih menggunakan pecahan uang Rp 25.- untuk membeli mi goreng berbungkus daun pisang di kampung halaman, namun kini seolah sudah sangat jauh berbeda. Uang sebanyak 100 ribu rupiah kalau sudah pecah akan sangat mudah menghabiskannya. Tidak sampai kita mengingat apa saja yang telah kita belanjakan. Segalanya kini sudah berubah serba mahal, sebaliknya untuk mendapatkan uang itu sendiri sebagai penghasilan hidup sangatlah susah.

Segala kebutuhan mesti ditebus dengan sejumlah uang. Pendidikan yang memadai, tempat tinggal yang layak, konsumsi yang sehat dan sedikit hiburan sebagai relaksasi. Kita tak pernah tahu apa yang ingin dicapai para koruptor di negeri ini. Seakan ambisi tanpa mengenal batasan dan ta peduli terhadap kondisi orang lain yang semakin merana.

Tapi sejatinya kita, seluruh rakyat di negeri ini masih tegas berfikir baik dan jernih, Masih tetap berjuang membebaskan bangsa ini dari belenggu para pelaku koruptor. demi terwujudnya pemerintahannya yang bersih dari pelaku korup itu. Mudah-mudahan negeri ini kelak benar-benar mampu terbebas dari para pelaku korupsi tersebut. Semoga saja dalam waktu yang dekat.