Sabtu, 12 November 2011

Orang Kaya Memiliki Derajat di Atas Orang Miskin?

APA yang menjadi pengukur tinggi rendahnya derajat seseorang di mata publik? Harta? Kekayaan? Jika iya, lalu pantaskah kita membenarkan bahwa orang kaya memiliki derajat di atas orang miskin? Sangatlah lucu—bahkan geli—sesungguhnya bila pertanyaan di atas kita benarkan. Pertanyaan tersebut adalah pertanyaan yang sangat sederhana. Tanpa membutuhkan waktu yang lama, sesungguhnya orang yang bijak akan langsung tahu, pertanyaan tersebut tidaklah dapat dibenarkan.

Agama apa pun tak pernah membenarkan hal tersebut. Tuhan tak pernah mengatakan orang kaya memiliki derajat di atas orang miskin. Manusia kejilah yang telah menciptakan pendapat-pendapat miring tersebut.

Kendati tidak semua, tetapi tak dapat dipungkiri, tentu masih dapat dengan mudahnya kita jumpai orang-orang kaya yang beranggapan bahwa harta adalah segalahnya. Dan dikarenakan mereka telah memiliki banyak harta, mereka pun beranggapan merekalah yang terhebat. Dengan sikap yang seolah melupakan keberadaan Tuhan, nikmat Tuhan (harta mereka) yang semestinya disyukuri itu pun menjadikan mereka lupa diri dan kerap bersikap pongah.

Segala sesuatu pun dikaitkan, atau diputuskan berdasarkan seberapa besar jumlah harta yang dimiliki. Semisal mereka kaya, lalu mereka pun wajib diagung-agungkan oleh orang miskin, diberi kemudahan, kemenangan dan sebagainya. Lebih gawatnya, ada lagi yang setelah menerima bantuan, pertolongan berupa jasa dari orang lain, bukannya merasa berterima kasih dan bersyukur, mereka malah beranggapan bahwa sudah semestinya orang tersebut bekerja untuk diri mereka, karena mereka terhormat, banyak harta, pantas dilayani.

Padahal, sesungguhnya sikap-sikap tersebut sama sekali tidaklah membuat diri mereka menjadi sosok yang sepatutnya dihormati/dihargai di mata publik. Sikap-sikap tersebut pun melahirkan image buruk untuk diri mereka, di mata publik. Dan tentu saja jarang mereka akan mengetahui hal tersebut, karena apa yang namanya perkataan buruk (gosip) cenderung hanya dikeluarkan ketika tidak sedang berada di hadapan orang yang sedang dibicarakan.

Tak ada sanksi apa pun yang dapat diberikan publik terhadap mereka yang suka bersikap demikian. Ada pun itu hanyalah tindakan publik yang menjauhi mereka. Dan kalau sudah begitu, mungkin mereka masih tidak sadar, bahkan mengira publik menjauhi mereka karena dengki terhadap mereka. Itulah yang biasa boleh kita golongkan sebagai orang-orang yang kaya materi, namun miskin sosialisasi. Orang-orang yang melekat pada kekotoran batin, serta hal-hal yang bersifat tidak kekal.

Mungkin benar, mereka tidak akan merasa kesepian sekali pun telah dijauhi banyak orang, mengingat wajar saja kalau tentunya tidaklah mungkin, semua orang menjauhinya hingga di sisinya benar-benar tak ada seorang pun. Akan tetapi—cobalah bayangkan bila itu adalah Anda—pernahkah kita renungkan; mengapa banyak orang menjauhi saya? Apa yang telah saya perbuat terhadap mereka? Apakah saya telah menyakiti mereka? Ah, ya, di sisi saya masih memiliki banyak orang, untuk apa saya memikirkan hal tersebut? Tetapi apakah mereka benar-benar adalah sahabat sejati? Ataukah mereka bersahabat dengan saya hanya karena kita sama-sama kaya? Bila dalam sehari saja saya bangkrut, masihkah mereka bersedia bersahabat dengan saya untuk seumur hidup? Benarkah saat itu derajat saya telah berada di bawah mereka?

Dengan merenungkan pertanyaan-pertanyaan di atas, tentunya kita akan semakin yakin, sesungguhnya derajat seseorang sama sekali tidak boleh dinilai berdasarkan kekayaan. Jika kita adalah orang kaya, kita menilai segala sesuatu berdasarkan kekayaan, maka (sebagian besar/tidak semua) yang di sisi kita pun hanyalah sahabat-sahabat palsu, yang juga memiliki persamaan sifat seperti kita, yakni menilai segala sesuatu berdasarkan kekayaan. Dan belum tentu, kita masih akan dianggap sahabat, bila suatu hari nanti kita jatuh miskin. Saat itu mereka telah menganggap diri kita sebagai seseorang yang memiliki derajat di bawah mereka. Tak ada lagi manis yang dapat mereka petik dari kita. Lebih menyedihkan lagi mereka akan menjadi takut terhadap kita, kalau-kalau nantinya kita tiba-tiba membuka mulut hendak meminta atau meminjam uang dari mereka.

Insan yang miskin bukanlah insan yang pantas ditertawakan atau pun dipermalukan. Mereka sama sekali bukanlah pigura yang memalukan atau pun rendah. Mereka hanyalah insan yang kurang beruntung. Sebagai seorang kaya yang memiliki batin sehat, sesungguhnya akanlah sangat baik bila mampu menghargai siapa pun tanpa membeda-bedakan status. Seorang kaya haruslah memiliki jiwa sosial setinggi langit, dan hati serendah dasar laut.

Katakanlah yang buruk, kendati memang semua manusia akan mati dan meninggalkan segalanya, namun sesungguhnya masih terdapat satu hal yang akan tetap melekat. Apa itu? Status? Bukan! Tetapi image.

Hanya image-lah yang tetap akan melekat pada diri kita, sekali pun tubuh kita telah hangus, tercabik, terpotong, bahkan lenyap. Jika semasa hidup kita selalu bersikap buruk, maka setelah mati pun nama kita akan memiliki kesan buruk serta dicaci-maki. Sebaliknya jika semasa hidup kita selalu berbuat baik, maka setelah mati pun nama kita akan memiliki kesan baik serta dipuji-puji. Selain harta, nantinya nama itu jugalah yang akan diwariskan kepada keluarga. Tidakkah terlalu ironis bila kita harus mewariskan sesuatu yang buruk untuk keluarga kita yang padahal semasa hidup sangat kita kasihi?

Marilah yang miskin mengangkat kepala. Marilah yang kaya juga tidak memandang rendah yang miskin. Tuhan menciptakan kita dengan derajat yang sama, agar kita mampu bersosialisasi bersama. Sekali lagi, publik tak akan memberikan sanksi apa pun terhadap seseorang yang bersikap pongah. Tetapi, di belakanglah, image seseorang yang bersikap pongah telah menjadi bahan gosip serta caci-maki. Orang yang bersikap pongah hanyalah orang yang ber-image baik di batin sendiri, namun ber-image buruk di mata publik. Ironis....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar