Senin, 28 November 2011

arogansi di jalan raya

"Macam jalan nenek moyangnya saja" gumam seseorang dari atas sepeda motor yang merambat lambat. Dengan modal klakson lantang dan sedikit mengabaikan sopan santun di jalan, Ketika sebuah mobil Honda jazzi berhasil merangsek ke depan kendaraan lainnya. Hampir semua mata memandang ke arah mobil yang memancing perhatian dengan klaksonnya. Namun semua hanya melihat sesaat kemudian terdiam. Mereka terdiam, entah karena fragmen arogansi seperti itu sudah biasa mereka lihat di jalan atau karena di kaca mobil itu terlihat menempel stiker lambang kesatuan tertentu yang "menantang" mata.

Tidak perlu berpikir terlalu lama, dari beberapa atribut yang ditempel di dinding belakang mobil itu-mungkin dengan rasa bangga-diketahui, pemilik mobil diduga anggota salah satu kesatuan tertentu yang bertugas menjaga ketertiban dan keamanan masyarakat. Kalau dugaan ini keliru, pastilah mobil itu milik anggota keluarga sang oknum aparat itu. Atau, mungkin pemilik mobil masyarakat sipil yang memasang stiker resmi untuk tujuan tertentu. Gagah-gagahan, misalnya, agar bisa berperilaku arogan di jalan. Arogansi di jalan seharusnya dipersepsikan sebagai kebanggaan memalukan. Ironisnya, malah ada yang menikmati tabiat ini tanpa rasa malu. Bila kita jeli mengamati, mereka yang bertabiat seperti ini justeru oknum yang - seharusnya - memiliki beban moral menjaga nama baik institusi dan berkewajiban memberi teladan pada masyarakat.

Jika kita bertandang ke kota negeri tetangga di seberang Selat Malaka akan terkagum-kagum melihat pengalaman di jalan yang sungguh berbeda. Di Penang, Malaysia, polisi jarang terlihat. Namun di jalan orang tetap taat pada aturan. Di Indonesia, Sat Lantas Yang ada di Indonesia - boleh jadi - sudah sering melakukan imbauan agar pengendara berperilaku santun di jalan. Salah satunya imbauan melalui poster maupun baliho yang pernah terlihat di persimpangan-persimpangan jalan. Dengan masih ada oknum yang belum memiliki komitmen memberi teladan di tengah masyarakat, kita ragu terhadap niat menjadikan masyarakat lebih santun di jalan. Apalah arti sebuah poster untuk menggugah kesadaran, apabila oknum yang harusnya menjadi teladan bagi masyarakat justeru masih ada perilaku arogan yang memalukan di jalan.

Sekarang kita lihat fragmen lain yang tidak kalah asyik di tengah kemacetan jalanan. Apa itu? Memperhatikan rombongan mobil pejabat lewat. Ya. Tidak ada yang membedakan pejabat dan rakyat di jalan raya kecuali mobilnya. Tidak percaya?  Rajin-rajinlah jalan-jalan di sore hari menyusuri jalan protokol pada jam para pejabat pulang ngantor dengan mobil dinasnya. Kalau Anda beruntung akan bertemu mobil pejabat melakukan kunjungan dinas bersama rombongan di simpang lampu merah - maksudnya traffic light. Lihat bedanya! Dalam jarak dua kilometer jelang simpang, petugas lalu lintas sudah berjaga-jaga menunggu mobil sang pejabat lewat. Petugas siaga di setiap simpang, bahkan begitu ’memaksa’ untuk kelancaran arus lalu lintas yang searah mobil pejabat, meskipun harus mengabaikan rambu lalu lintas yang berlaku.

Seperti yang terjadi di suatu sore di sebuah simpang jelang mobil pejabat lewat. Sejumlah pengendara di belakang garis pembatas jalan patuh berhenti karena di depan lampu rambu masih menyala merah. Namun petugas lalu lintas justeru meminta meraka terus jalan setelah menyetop arus dari arah - yang justeru - berlampu hijau. Menerobos lampu merah sebuah pelanggaran berat dalam situasi normal aturan lalu lintas. Namun sore itu tidak biasa, tidak ada sanksi pelanggaran, karena dari arah belakang mobil pejabat segera lewat. Pengguna jalan boleh menerobos lampu merah, dengan pengawalan pula.

Legal menerobos lampu merah juga dilakukan ambulans serta armada pemadam kebakaran. Hal itu merupakan pengecualian yang mudah dipahami orang awam. Pasalnya, dalam ambulans ada pasien sekarat yang harus segera ditolong. Mobil pemadam harus buru-buru karena di sebuah tempat api yang berkobar harus segera dipadamkan. Kalau tidak, bakal hangus seluruh rumah di lingkungan yang padat penduduk. Namun apa bila ada orang - baca: pejabat -pulang kerja dengan aturan istimewa di jalan mengabaikan aturan berlaku merupakan sebuah pengecualian yang sulit dimengerti. Tidak cuma sulit dimengerti, tapi masih menyisakan ganjalan di hati: mengapa harus ada diskriminasi di jalan.

Tidak ada yang kebal hukum dan aturan. Harusnya jaminan ini berlaku pula di jalan raya. Faktanya, makin kentalnya perbedaan antara mobil rakyat dengan mobil pejabat. Baik kelakuan maupun perlakuan belum mencerminkan keteladanan banyak hal.

Perlakuan pada mobil pejabat, boleh jadi mengacu pada sebuah prosedur tertentu yang menjadi bagian fasilitas yang diberikan negara. Karena itulah terserah bagaimana kita melihat dan menimbang keadilan sebuah aturan di jalan raya. Namun perlakuan berlebihan - apa lagi tidak mendidik - tidak sesuai dengan semangat membangun pola berpikir santun dan disiplin di jalan.

Sementara kelakuan oknum pengendara mobil pejabat atau satuan dinas tertentu yang arogan di jalan harusnya mendapat edukasi yang pantas. Pasalnya, di pundak merekalah tanggungjawab moral nama besar institusi kebanggaannya dengan memberi teladan kesantunan kepada masyarakat di jalan raya.

Kita berharap koreksi ini memberi kesadaran positif bagi siapa pun, bahwa jalan adalah pentas peradaban sebuah kota. Jalan adalah etalase karakter dan kamajuan berpikir masyarakatnya, sekaligus indikator mengukur mental aparatnya.

Jalan raya di sebuah negara yang maju mempertontonkan karakter masyarakat yang disiplin, tertib, santun dan menjaga etika umum. Mereka malu dituding sebagai masyarakat yang tidak berbudaya dan tidak berpendidikan. Lalu, bercerminlah di jalan-jalan protokol kota kita. Seberapa majukah peradaban budaya kita?. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar